Kamis, 22 Mei 2008

Seri mencari pahlawan Indonesia

Mencari Pahlawan Indonesia
Oleh Anis Matta

Daya Cipta Material

Sebagai indikator keberdayaan, harta menjelaskan satu sisi kekuatan jiwa seorang pahlawan: daya cipta material. Yaitu kemampuan mengadakan dan menciptakan semua sarana materi, apapun bentuknya, yang ia perlukan untuk merealisasi rencana kepahlawanannya.

Makin dekat medan kepahlawanan seseorang kepada dunia materi, makin jelas pula daya cipta material ini menjadi indikator kekuataan kepribadiannya. Misalnya kepahlawanan dalam medan perang, politik dan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah daya cipta material seseorang, khususnya pada ketiga medan kepahlawanan tersebul, makin kecil pula peluangnya menjadi pahlawan.

Kemiskinan adalah masalah besar yang dihadapi para Muhajirin begitu mereka tiba di Madinah. Tapi ketika Saad Ibnu Rabi-dari kalangan Anshar-menawarkan modal kerja kepada Abdurrahman bin Auf-dari kalangan Muhajirin-yang telah dipersaudarakan dengannya, yang terakhir ini hanya mengatakan; “Tidak! Bukan itu yang aku perlukan. Tunjukkan saja padaku, dimana letaknya pasar Madinah?”

Nyata benar indikasi kekuatan kepribadian dalam kisah ini; kemandirian, harga diri, rasa percaya diri, kemampuan tehnis, kemahiran bisnis. Maka Abdurrahman bin Auf yang datang ke Madinah dengan tangan kosong, akhirnya meninggal dengan warisan kekayaan yang sangat besar. Bahkan emasnya, dalam salah satu riwayat, harus dibelah dengan kampak. Kepahlawanannya tidaklah terletak pada kekayaan itu, tapi pada apa yang ditunjukkan kekayaan itu tentang dirinya.

Daya cipta material itu pula yang menjelaskan, mengapa orang-orang seperti Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa menginfakkan seluruh hartanya, bukan sekadar marginnya, untuk kemudian memulai usahanya dari nol kembali; sebab mereka percaya pada daya cipta material mereka. Kekayaan itu, sekali lagi, tidaklah dengan sendirinya menjadikan mereka pahlawan. Tapi kekayaan itu bercerita banyak tentang mereka.

Kapasitas ini, daya cipta material, adalah salah satu kemampuan inti yang diperlukan dalam medan perang, atau percaturan politik, atau dunia bisnis. Itu sebabnya mereka yang memiliki kapasitas ini biasanya berpotensi menjadi pahlawan pada ketiga medan tersebut. Misalnya Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid; keduanya adalah petarung sejati, pemimpin sejati, dan juga pebisnis sejati.

Jadi, jika mereka mampu menciptakan karya-karya monumental dalam ketiga medan tersebut, itu sepenuhnya disebabkan oleh fakta bahwa kapasitas inti yang diperlukan pada ketiga medan itu adalah sama; daya cipta material.

Umar bin Khattab mengajarkan makna ini kepada kita, ketika beliau mengatakan: “Tidak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Agaknya inilah yang menjelaskan, mengapa generasi sahabat bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, tapi juga mampu menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.

Karnaval Jiwa-jiwa

Sejarah adalah karaval panjang jiwa-jiwa. Peristiwa-peristiwa hanyalah batang tubuh sejarah. Kenangan kita tidak tersimpan dalam peristiwa. Tapi pada jiwa-jiwa yang bermain dalam ruangan peristiwa itu. Pada ruh yang memaknai peristiwa-peristiwa itu.

Berapa tahunkah sudah kita menghuni bumi ini? Tapi berapakah potongan waktu yang melekat dalam kenangan kita? Berapakah luasnya ruangan bumi ini? Tapi berapakah ruang yang menghuni ingatan kita? Berapakah banyaknya manusia yang memenuhi bumi ini? Tapi berapakah nama yang kita simpan dalam benak kita ?

Tidak banyak. Waktu. Ruang. Manusia. Hanya sedikit dari itu semua yang menjadi kenangan. Dan yang kita kenang bukan waktunya. Bukan ruangnya. Bukan manusianya. Tapi jiwanya. Tapi ruhnya. Jiwa dan ruh dan bergerak dengan makna-makna. Bukan panggung ruang dan waktu, dengan sebuah nama.

Maka menyemburatlah peristiwa-peristiwa yang sebenarnya adalah tindakan jiwa-jiwa di pelataran sejarah. Seperti fajar menyingsing di kaki langit, setelah berjalan tertatih-tatih melampaui malam. Yang kila kenang adalah saat fajarnya. Bukan potongan-potongan waktu yang dilewatinya ketika malam. Bukan juga belahan bumi yang dilaluinya di waktu malam. Tapi saat fajarnya. Saat sang jiwa menembus batas-batas waktu dan ruang. Saat makna-makna memenuhi rongga sang jiwa, lalu ia meledak. Ledakannya menyemburat di ujung malam . Maka lahirlah pagi. Lalu terjadilah itu : apa yang kau sebut peristiwa.

Begitulah Allah melukiskan sejarah dalam kitab-Nya. Tanpa catatan waktu. Tanpa rincian tempat. Supaya sejarah terlukis seperti karnaval panjang jiwa-jiwa yang mementaskan makna-makna di panggung ruang dan waktu. Yang dilukisnya adalah tindakan jiwa-jiwa saat ia melakoni makna-makna. Bukan panggung, ruang dan waktu. Sebab kau takkan mengenang panggung. Kau hanya akan mengenang sang aktor. Sang jiwa. Yang melakoni sebuah cerita.

Maka sejarah adalah sari buah yang diperas dari waklu, ruang dan manusia. Jadi sebuah cerita. Cerita sang jiwa yang selalu berjaga-jaga seperti kata Chairil Anwar “di garis batas pernyataan dan impian.”

Dan itulah pahlawan. Sang jiwa yang melakoni makna-makna. Dalam ruang dan waktu. Jadi sebuah cerita. Cerita yang memenuhi lembar-lembar sejarah.

Jadi apa yang kau baca dalam sejarah adalah jiwa kami. Para pahlawan. Sebab sekali ini sejarah memenuhi seruan Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi:
Kami bicara padamu dalam hening di maiam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami…..

Imajinasi

“Seluruh lembah, gunung, dan gurun yang pernah kulewati, pasti akan selalu kuingat, sekaligus kubayangkan segenap strategi yang akan kugunakan, jika suatu saat aku berperang di tempat itu.”

Itulah ungkapan Khajid bin Walid tatkala ia mengenang strategi kardus yang digunakannya dalam Perang Yarmuk. Itulah kemenangan perang, sekaligus prestasi militer paling prestisius yang pernah dicapai Khalid. Itu pulalah pembuktian paling nyata dari gelar yang diberikan Rasulullah saw kepadanya sebagai Pedang Allah yang Selalu Terhunus.

Jadi, segalanya bermula dari imajinasi. Ini bukan hanya ada dalam dunia kepahlawanan militer, melainkan merata dalam semua bidang kepahlawanan. Temuan-temuan ilmiah selalu didahului oleh imajinasi: jauh sebelum dilakukannya pengujian di laboratorium; jauh sebelum adanya perumusan teori. Maka, fiksi-fiksi ilmiah selalu menemukan konteksnya di sini: bahwa mercusuar imajinasi telah menyorot seluruh wilayah kemungkinan dan apa yang harus dilakukan kemudian adalah tinggal membuktikannya. Studi-studi futurologi juga menemukan konteksnya di sini. Memang, selalu harus ada bantuan data-data pendahuluan. Namun, data-data itu hanyalah bagian dari sebuah dunia yang telah terbentuk dalam ruang imajinasi.

Para pemimpin bisnis dan politik serta tokoh-tokoh pergerakan dunia juga menemukan kekuatan mereka dari sini. Bahwasanya apa yang sekarang kita sebut visi dan kreativitas adalah ujung dari pangkal yang kita sebut imajinasi. Bacalah biografi Bill Gates atau Ciputra, maka Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah biografi John F. Kennedy atau Soekarno, maka Anda juga akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah pula biografi Sayyid Qutlib, maka sekali lagi Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Dalam dunia pemikiran, kebudayaan, dan kusenian, imajinasi bahkan menjadi tulang punggung yang menyangga kreativitas para pahlawan di bidang ini.

Kekuatan imajinasi sesungguhnya terletak pada beberapa titik. Pertama, pada wilayah kemungkinan yang tidak terbatas, yang terangkai dalam ruang imajinasi. Itu membantu kita untuk berpikir holistik dan komprehensif, menyusun peta keinginan, dan menentukan pilihan-pilihan tindakan yang sangat luas. Kedua, optimisme yang selalu lahir dari luasnya ruang gerak dalam wilayah kemungkinan dan banyaknya pilihan tindakan dalam segala situasi. Ketiga, imajinasi membimbing kita bertindak secara terencana oleh karena ia mcnjelaskan ruang dan memberi arah bagi apa yang mungkin kita lakukan.

Akan tetapi, imajinasi tentu saja bukan mukjizat. Harus ada kekuatan lain yang menyertainya agar ia efektif. Yang jelas, jika Anda mau belajar menjadi ‘pengkhayal ulung’, barangkali Anda telah memiliki sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan.

Tidak ada komentar: